Bagi
Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran mengenai fungsi
pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi
dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah ditetapkan dengan
suatu sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia yang dinamakan
dengan Sistem Pemasyarakatan.
Upaya
perbaikan terhadap pelanggar hukum baik yang berada dalam penahanan sementara
maupun yang sedang menjalani pidana terus diadakan dan ditingkatkan sejak
bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Upaya
tersebut tidak hanya terjadi pada bangsa kita,akan tetapi juga pada bangsa-bangsa
lain sejalan dengan pergerakan kemerdekaannya terutama setelah perang dunia
ke-2.
Pada tahun
1933 The International Penal and Penitentiary Commision (IPPC) (Komisi
Internasional Pidana dan Pelaksanaan Pidana) telah merencanakan dan tahun 1934
mengajukan untuk disetujui oleh The Assembly of The League of Nation (Rapat
Umum Organisasi Bangsa-bangsa). Naskah IPPC tersebut setelah diadakan
perbaikan-perbaikan oleh sekretariat PBB, pada tahun 1955 disetujui Kongres
PBB, yang kita kenal dengan Standart Minimum Rules (SMR) dalam pembinaan
narapidana. Pada tanggal 31 Juli 1957 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Resolusi
No.663C XXIV) menyetujui dan menganjurkan pada pemerintahan dari setiap Negara
untuk menerima dan menerapkannya.
Hasrat
untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan di bidang tata perlakuan di
Indonesia diawali oleh DR. Sahardjo, SH yang menjabat sebagai menteri Kehakiman
pada saat itu. Pada tanggal 5 Juli 1963 di Istana Negara RI dalam penganugrahan
gelar Doctor Honoris Causa bidang hukum dengan pidatonya “Pohon Beringin
Pengayoman”; yang antara lain dinyatakan bahwa tujuan dari penjara adalah
“Pemasyarakatan” dan juga mengemukakan konsepsi tentang hukum nasional yang ia
gambarkan sebagai sebuah “Pohon Beringin” untuk melambangkan “Tugas hukum ialah
memberi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara.
Satu
tahun kemudian, gagasan tentang Pemasyarakatan tersebut mencapai
puncaknya pada tanggal 27 April 1964 pada Konferensi Nasional Kepenjaraan di
Grand Hotel Lembang, Bandung. Istilah pemasyarakatan dibakukan sebagai
pengganti kepenjaraan. Pemasyarakatan dalam konferensi ini dinyatakan sebagai suatu
sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan
keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan
hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam masyarakat.
Konferensi yang diikuti oleh Direktur Penjara seluruh Indonesia ini berhasil
merumuskan prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan terhadap narapidana
dan anak didik. Kesepuluh Prinsip Pemasyarakatan yang disepakati sebagai
pedoman, pembinaan terhadap narapidana di Indonesia sebagai berikut:
- Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
- Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam Negara.
- Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertaubat.
- Negara tidak berhak membuat mereka lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi hukuman pidana.
- Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
- Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan menunjang usaha peningkatan produksi.
- Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.
- Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.
- Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialaminya.
- Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif,korektif dan edukatif dalam sistem Pemasyarakatan.
Dalam perkembangan selanjutnya
pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang telah dilaksanakan sejak lebih dari tiga
puluh lima tahun tersebut semakin mantab dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dengan undang-undang ini maka semakin
kokoh usaha-usaha mewujudkan suatu sistem pemasyarakatan yang bersumber dan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, dengan
adanya Undang-Undang Pemasyarakatan ini, maka makin kokoh usaha-usaha untuk mewujudkan
visi Sistem Pemasyarakatan, sebagai tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu
antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.
Undang-Undang
Nomor 12 tahun 1995, menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan dilaksanakan
berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan pendidikan,
penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan
satu-satunya derita serta terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan
orang-orang tertentu. Konsep ini pada dasarnya merupakan penjabaran lebih
lanjut dari konsep dasar sebagaimana termuat dalam sepuluh prinsip
pemasyarakatan.
- Lebih lengkapnya dapat di download di sini
- Dikutip dari http://www.djpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2009/bn5-2009-2.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar