Batman Begins - Help Select
-*SELAMAT DATANG*-
di LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA PURWOKERTO

Jumat, 04 Juli 2014

Sejarah Ringkas Sistem Pemasyarakatan

Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah ditetapkan dengan suatu sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia yang dinamakan dengan Sistem Pemasyarakatan.
Upaya perbaikan terhadap pelanggar hukum baik yang berada dalam penahanan sementara maupun yang sedang menjalani pidana terus diadakan dan ditingkatkan sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Upaya tersebut tidak hanya terjadi pada bangsa kita,akan tetapi juga pada bangsa-bangsa lain sejalan dengan pergerakan kemerdekaannya terutama setelah perang dunia ke-2.
Pada tahun 1933 The International Penal and Penitentiary Commision (IPPC) (Komisi Internasional Pidana dan Pelaksanaan Pidana) telah merencanakan dan tahun 1934 mengajukan untuk disetujui oleh The Assembly of The League of Nation (Rapat Umum Organisasi Bangsa-bangsa). Naskah IPPC tersebut setelah diadakan perbaikan-perbaikan oleh sekretariat PBB, pada tahun 1955 disetujui Kongres PBB, yang kita kenal dengan Standart Minimum Rules (SMR) dalam pembinaan narapidana. Pada tanggal 31 Juli 1957 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Resolusi No.663C XXIV) menyetujui dan menganjurkan pada pemerintahan dari setiap Negara untuk menerima dan menerapkannya.

Hasrat untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan di bidang tata perlakuan di Indonesia diawali oleh DR. Sahardjo, SH yang menjabat sebagai menteri Kehakiman pada saat itu. Pada tanggal 5 Juli 1963 di Istana Negara RI dalam penganugrahan gelar Doctor Honoris Causa bidang hukum dengan pidatonya “Pohon Beringin Pengayoman”; yang antara lain dinyatakan bahwa tujuan dari penjara adalah “Pemasyarakatan” dan juga mengemukakan konsepsi tentang hukum nasional yang ia gambarkan sebagai sebuah “Pohon Beringin” untuk melambangkan “Tugas hukum ialah memberi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara.
Satu tahun kemudian, gagasan tentang Pemasyarakatan tersebut mencapai puncaknya pada tanggal 27 April 1964 pada Konferensi Nasional Kepenjaraan di Grand Hotel Lembang, Bandung. Istilah pemasyarakatan dibakukan sebagai pengganti kepenjaraan. Pemasyarakatan dalam konferensi ini dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam masyarakat. Konferensi yang diikuti oleh Direktur Penjara seluruh Indonesia ini berhasil merumuskan prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan terhadap narapidana dan anak didik. Kesepuluh Prinsip Pemasyarakatan yang disepakati sebagai pedoman, pembinaan terhadap narapidana di Indonesia sebagai berikut:

  1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
  2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam Negara.
  3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertaubat.
  4. Negara tidak berhak membuat mereka lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi hukuman pidana.
  5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
  6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan menunjang usaha peningkatan produksi.
  7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.
  8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.
  9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialaminya.
  10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif,korektif dan edukatif dalam sistem Pemasyarakatan.
Dalam perkembangan selanjutnya pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang telah dilaksanakan sejak lebih dari tiga puluh lima tahun tersebut semakin mantab dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dengan undang-undang ini maka semakin kokoh usaha-usaha mewujudkan suatu sistem pemasyarakatan yang bersumber dan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, dengan adanya Undang-Undang Pemasyarakatan ini, maka makin kokoh usaha-usaha untuk mewujudkan visi Sistem Pemasyarakatan, sebagai tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995, menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan pendidikan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya derita serta terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Konsep ini pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari konsep dasar sebagaimana termuat dalam sepuluh prinsip pemasyarakatan.


  • Lebih lengkapnya dapat di download di sini 
  • Dikutip dari http://www.djpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2009/bn5-2009-2.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar