Sejarah dari Penjara ke Lapas “Napi
Juga Manusia”
Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata
penjara? Sebuah tempat yang sangat menakutkan bagi nara pidana (napi) karena
harus dikungkung dalam jeruji besi sehingga tentu saja tak bisa kemana-mana, seperti
yang sering kita saksikan dalam film-film. Sebagaimana nama yang disandang,
penjara, konon, berasal dari kata penjera, yang itu berarti tempat untuk
membuat orang jera.
Sampai ada sebuah film berjudul The Shawshank Redemption
yang menceritakan sekawanan napi yang menyaksikan bus mengeluarkan napi-napi
baru, dan mereka bertaruh siapa di antara orang-orang baru itu yang menangis
pada malam pertama di penjara. Film adaptasi dari novela yang berjudul Rita
Hayworth and the shawshank Redemption karya Stephen King yang terkenal dengan
novel-novel horor itu menunjukkan betapa kehidupan di penjara memang amat
sangat menakutkan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjara adalah “bangunan
tempat mengurung orang hukuman; bui, lembaga pemasyarakatan (lapas).” Istilah
yang terakhir, yaitu lapas, kurang akrab di telinga, tapi kedengarannya tidak
seseram dengan penjara. Lapas adalah bangunan tempat mengurung orang yang sudah
divonis, sedangkan orang yang belum divonis ditempatkan di rumah tahanan
(rutan).
Lapas atau rutan kedudukannya kini dalam kondisi yang
paradoks, dimana pada satu sisi harus memperhatikan hak-hak penghuni (baca:
napi) dan di sisi lain petugas harus dapat melaksanakan ketertiban dan penegakan
hukum. Apalagi sekarang seiring era reformasi bergulir di negeri ini wacana hak
asasi manusia begitu gencarnya ditegakkan, baik itu dari lembaga swadaya
masyarakat (lsm), praktisi hukum, bahkan sampai pada masyarakat umum dengan
penerapan program bernama keluarga sadar hukum (kadarkum).
Napi adalah orang yang melakukan kejahatan sehingga
mengharuskan dirinya di kurung dalam penjara. Betapapun, napi adalah manusia,
dan sangat wajar kalau mereka tetap ingin diperlakukan sebagai manusia.
Sebagaimana pernah ditegaskan DR. Sahardjo SH., tiap orang adalah manusia dan
harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat, tidak boleh
ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya, ia harus selalu
merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Pandangan yang tak
jauh berselisih dengan “Rocker juga manusia” yang dipopulerkan oleh grup musik
Seurius.
Pandangan ini yang menjadi dasar dari Lambang Pemasyarakatan
bagi lembaga pemasyarakatan, yaitu griya winaya jamna miwarga laksa dharmmesti,
yang artinya rumah untuk pendidikan manusia yang salah jalan agar patuh kepada
hukum dan berbuat baik. Lambang Pemasyarakatan ini ditetapkan dalam Keputusan
Menkeh RI No. M.09.KP.10.10 Tahun 1997.
Namun demikian sejarah dari penjara ke lembaga
pemasyarakatan tak serta-merta ada begitu saja, tapi ternyata telah melalui
proses panjang yang cukup berliku-liku dimulai sejak bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang itu tentu dalam upaya
perbaikan terhadap pelanggar hukum baik yang berada dalam penahanan sementara
maupun yang sedang menjalani pidana. Upaya tersebut tidak hanya terjadi pada
bangsa kita, tapi juga pada bangsa-bangsa lain sejalan dengan pergerakan
kemerdekaannya terutama setelah perang dunia kedua.
Tahun-tahun penting yang menjadi tonggak sejarah dunia dalam
upaya perbaikan tersebut, yaitu pertama, tahun 1933 ketika The International
Penal dan Penitentary Commision (IPPC), sebuah komisi Internasional mengenai
pidana dan pelaksanaan pidana itu pada tahap merencanakan. Kemudian, kedua,
tahun 1934 dimana IPPC mulai mengajukan untuk disetujui oleh The Asembly of The
Leaque of Nation, yaitu rapat umum organisasi bangsa-bangsa. Ketiga, tahun
1955, naskah IPPC yang diperbaiki oleh sekretariat PBB disetujui oleh Kongres
PBB, yang dijadikan Standart Minimum Rules (SMR) dalam pembinaan napi. Keempat,
tahun 1957, tepatnya tanggal 31 Juli 1957, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB
(Resolusi No. 663C XXIV) menyetujui dan menganjurkan pada pemerintahan dari
setiap negara untuk menerima dan menerapkannya.
Adapun upaya perbaikan di Indonesia diawali tahun 1963,
tepatnya 5 Juli 1963, di Istana Negara RI ketika Sahardjo, SH, Menteri
Kehakiman mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa bidang hukum dengan
pidatonya “Pohon Beringin Pengayoman”; yang antara lain dinyatakan bahwa tujuan
dari pidana penjara adalah “Pemasyarakatan” dan juga mengemukakan konsep
tentang hukum nasional, yang digambarkan sebuah “Pohon Beringin” untuk
melambangkan “Tugas hukum ialah memberi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa
tercapai dan terpelihara. DR, Sahardjo, SH adalah seorang tokoh yang
menancapkan tiang pancang perubahan dalam bidang pemasyarakatan.
Gagasan tentang pemasyarakatan mencapai puncaknya pada 27
April 1964 dalam Konferensi Nasional Kepenjaraan di Grand Hotel Lembang,
Bandung. Konferensi yang diikuti oleh direktur penjara seluruh Indonesia ini
didahului oleh Amanat Presiden Republik Indonesia, yang dibacakan oleh
Astrawinata, SH yang menggantikan kedudukan Almarhum DR. Sahardjo, SH. sebagai
Menteri Kehakiman. Nah, istilah kepenjaraan mulai saat itu diganti dengan
Pemasyarakatan, dan tanggal 27 April akhirnya ditetapkan sebagai Hari
Pemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar